Senin, 14 Desember 2015

Kontribusi Petani Wanita dalam Mengolah Lahan Pertanian di Pendesaan

1.      Latar Belakang
Pengakuan terhadap besarnya kontribusi wanita dalam pembangunan dalam kenyataanya menghadapi banyak kendala. Hal ini disebabkan konsep wanita dalam pembangunan cenderung mengacu pada perbedaan biologis pria dan wanita, oleh karena itu sudah saatnya perencana pembangunan lebih berorientasi pada masalah gender yang dewasa ini telah menempatkan wanita sejajar dengan pria. Dengan kata lain, wawasan gender perlu dipertimbangkan dalam setiap kebijakan pembangunan (Siti Partini, 1997).
Studi kasus ini bermaksud mengeksplorasi salah satu sisi kontribusi wanita dalam pemberdayaan ekonomi daerah (lokal) dan lingkungan hidup, yang tidak banyak disadari oleh banyak pihak, baik kalangan ahli maupun pemerintah yaitu tentang pola kerja petani wanita yang umumnya berada di pedesaan. Studi kasus ini diharapkan dapat menyadarkan publik bahwa ternyata kaum wanita di pedesaan pada zaman ini juga berkontribusi besar dalam pemberdayaan ekonomi khususnya dalam mengolah lahan pertanian.
Pada kenyataannya kaum wanita di desa terutama yang telah berstatus menikah, hanya berdiam diri di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, melayani anak dan suami. Hal tersebut tentu tidak memberikan dampak positif terhadap masyarakat dan lingkungan. Pola hidup wanita di pedesaan cenderung monoton karena kurangnya pendidikan dan keterampilan. Perempuan di pedesaan hanya dibekali dengan keterampilan mengurus rumah tangga, tanpa mengenyam pendidikan formal yang sesuai.
Sebagian besar penduduk wanita di pedesaan berpendidikan rendah. Umumnya hanya sampai tamatan sekolah dasar. Di pengaruhi pula oleh norma dan adat istiadat daerah setempat, perempuan tidak dianjurkan bekerja, lebih baik mengurus pekerjaan rumah saja. Hal tersebut menyebabkan kaum perempuan di desa tidak produktif dan akhirnya menyebabkan perempuan menjadi beban tanggungan keluarga.
Sementara upaya-upaya pragmatis untuk meningkatkan kontribusi wanita dalam pembangunan daerah mendapat porsi sentral, ternyata upaya “kecil” perhatian terhadap masalah profesi wanita ditinjau dari aspek keruangan kurang mendapat perhatian yang memadai. Oleh karena itu studi kasus ini akan mengisi ruang kosong yang selama ini kurang mendapat perhatian para ahli dan pemerhati masalah wanita, sehingga kajian kajian wanita dapat dilakukan secara lebih komprehensif, tidak hanya berdimensi sektoral (ekonomi, sosial, budaya) tetapi juga memiliki perspektif keruangan.
Pada dua dasawarsa terakhir ini banyak ahli dan pengamat sosial dan politik mengalihkan perhatian dan pandangannya pada studi-studi wanita (Papanek, 1980). Setidaknya ada 3 faktor mengapa titik perhatian tertuju pada masalah wanita yaitu : (1) adanya asumsi bahwa wanita merupakan salah satu sumberdaya manusia dalam pembangunan, (2) kuantitas wanita yang besar, lebih dari separoh jumlah penduduk, (3) dari segi kualitas, wanita sebagai penerus nilai dan norma-norma yang berlaku bagi generasi penerus (Tjokrowinoto, M, 1995).
Oppong dan Chuch (1981) mengemukakan adanya 7 (tujuh) kontribusi wanita, yang sebagian besar berorientasi kedalam kontribusi keluarga (domestic role) dan selebihnya lebih berorientasi pada masyarakat luas (public role). Ketujuh kontribusi tersebut antara lain : (1) kontribusi sebagai orang tua (parental role); (2) kontribusi sebagai isteri (conjugal role); (3) kontribusi di dalam rumah tangga (domestic role); (4) kontribusi di dalam kekerabatan (kin role); (5) kontribusi pribadi (individual role); (6) kontribusi di dalam masyarakat (community role); dan (7) kontribusi di dalam pekerjaan (occupational role).
Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan pembangunan, terjadi pergeseran kontribusi wanita, khususnya dari kontribusi-kontribusi rumah tangga (domestic role) menjadi kontribusi-kontribusi yang lebih berorientasi pada masyarakat luas (public role), yaitu bekerja di luar rumah. Sebagai konsekuensinya terjadi kontribusi ganda wanita. Hana Papanek (1980) menyatakan bahwa kontribusi ganda dengan segala permasalahannya adalah bahwa walaupun wanita dapat masuk dunia publik, akan tetapi harus tetap masuk pada wilayah domestiknya, sedangkan masuknya pria dalam lingkungan domestik rupanya masih gejala yang mustahil dalam masyarakat Indonesia, tetapi kini telah mulai menunjukkan perubahan yang semakin nyata.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Benjamin White (1991) sangat menarik untuk dipakai sebagai perbandingan. Mereka menyatakan bahwa pemisahan kontribusi dan pengaruh antar jenis kelamin (asumsi : wanita pada umumnya lebih berpengaruh dalam dunia rumah tangga, sedangkan pria berpengaruh di dunia luar, dan menguasai hampir semua posisi kekuasaan formal) sebenarnya hanyalah merupakan suatu penyesuaian sosial yang berasal dari adanya perbedaan-perbedaan biologis dan kontribusi reproduksi. Perbedaan kontribusi dan kedudukan baik dalam perkawinan maupun di masyarakat lebih mencerminkan sifat komplementer dan kerjasama, bukan subordinasi.
Kajian teoritik yang berkaitan kontribusi wanita dalam pembangunan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, lebih bersifat pembagian kontribusi secara seksual, dikotomi kontribusi domestic dan public, dan kontribusi wanita dalam kerja serta peningkatan ekonomi keluarga, baik di sektor pertanian mapun non pertanian. Kajian dan penelitian-penelitian tersebut umumnya bersifat sektoral dan kurang memperhatikan dimensi ruang (spatial). Penelitian ini mengambil salah satu sisi kontribusi wanita dalam keluarga dan pembangunan dengan tinjauan keruangan. Penelitian ini mengambil sisi keruangan dari pola kontribusi petani wanita terhadap pengolahan lahan pertanian, pemberdayaan ekonomi dan masyarakat lokal, dengan mengambil studi kasus di daerah pedesaan.
Perkembangan daerah pedesaan ditandai dengan semakin banyaknya kebutuhan keluarga yang harus di penuhi serta akibat perkembangan jaman dan hukum kesetaraan gender yang makin di tegakkan, dalam konteks inilah kontribusi wanita di dudukkan sebagai pelaku kunci yang dapat mendorong perkembangan wilayah sekitar. Dengan kata lain, semakin banyak petani wanita yang berkontribusi dalam kegiatan pertanian lokal maka ia telah menjadi motor penggerak ekonomi lokal, sebaliknya jika wanita bergerak pasif, hanya menjalankan peran dalam rumah tangga, maka ia hanya menjadi beban tanggungan keluarga.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut :
a.       Apakah yang dimaksud dengan petani wanita ?

b.      Bagaimana Kontribusi Petani Wanita dalam Mengolah Lahan Pertanian di Pendesaan ?