Pendahuluan
Paradigma tentang musik kontemporer akan sulit dipahami apabila kita hanya menggunakan parameter yang sempit serta hanya berdasar pada pemahaman budaya lokal saja. Berdasar pada berbagai referensi bahwa asal usul istilah itu datang ke negeri kita dapat dipastikan berasal dari budaya Barat (Eropa-Amerika). Oleh karena itu pemahaman masyarakat kita terhadap musik kontemporer seringkali agak keliru. Tentang hal itu, seorang tokoh musik di Indonesia yaitu Suka Hardjana[1] pernah mengemukakan, antara lain.
Secara spesifik, musik kontemporer hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan perkembangan sejarah musik barat di Eropa dan Amerika. Namun, walaupun dapat mengacu pada sebuah pemahaman yang spesifik, sesungguhnya label kontemporer yang dibubuhkan pada kata seni maupun musik sama sekali tidak menunjuk pada sebuah pengertian yang per definisi bersifat normatif. Itulah sebabnya, terutama bagi mereka yang awam, seni atau musik kontemporer banyak menimbulkan kesalahpahaman yang berlarut-larut.
Istilah musik kontemporer yang seringkali diterjemahkan menjadi “musik baru” atau “musik masa kini” menyebabkan persepsi bahwa jenis musik apapun yang dibuat pada saat sekarang dapat disebut sebagai musik kontemporer. Padahal istilah kontemporer yang melekat pada kata “musik” itu bukanlah menjelaskan tentang jenis (genre), aliran atau gaya musik, akan tetapi lebih spesifik pada sikap atau cara pandang senimannya yang tentunya tersirat dalam konsep serta gramatik musiknya yang memiliki nilai-nilai “kekinian”. Persoalannya adalah, untuk mengetahui apa yang “terkini” tentu saja kita mesti memiliki referensi secara historis. Melalui kesadaran historislah seseorang akan memiliki wahana (tools) yang dapat digunakan untuk menilai serta memahami aspek “kebaruan” dalam karya musik (baca:musik kontemporer).
Bagi pemahaman sebagian orang, musik kontemporer selalu dikaitkan dengan konsep penggunaan alat musiknya. Yang paling trend adalah ketika suatu karya musik menggunakan campuran alat “modern” dan “tradisional” dapat memberi penegasan bahwa itulah musik kontemporer. Walaupun pada kenyataannya banyak karya musik kontemporer menggunakan campuran alat musik seperti yang disebutkan di atas, akan tetapi konsep atau ide dengan campuran alat musik tersebut sebenarnya belum dapat menjamin bahwa karya musik tersebut adalah musik kontemporer. Bagi saya, penerapan istilah “modern-tradisional” atau “konvensional-non konvensional” yang ditujukan pada sebuah alat/instrumen musik sebenarnya agak membingungkan. Sistem pengelompokan musik berdasar penggunaan instrumen yang dangkal tersebut justru diruntuhkan oleh ideologi para komponis kontemporer. Bagi para komponis kontemporer, semua instrumen musik yang digunakan dalam karyanya dikembalikan harfiahnya sebagai alat permainan. Dengan demikian sekat-sekat cara penggunaan atau teknik bermain alat musik yang bersifat konservatif dan secara geokultural terasa sempit itu dibuka seluas-luasnya. Bahkan penemuan-penemuan dalam bidang organologi atau pemanfaatan teknologi canggih menjadi orientasi penting dalam perkembangan musik kontemporer.
Musik Kontemporer Sebagai Perwujudan Ekspresi Individual
Berbagai sebutan seperti musik kontemporer Indonesia, musik kontemporer Jepang, musik kontemporer Barat dan lain sebagainya, sebenarnya tidak menjelaskan apa pun bahkan sedikit rancu. Oleh karena itu, upaya yang paling tepat dalam memahami musik kontemporer adalah tidak melalui pendekatan secara general (genre, aliran, budaya dll.), akan tetapi melalui pendekatan karya musik secara kompositoris serta sosok senimannya secara individual. Justru karena tuntunan ekspresi individual para seniman-lah, fenomena musik kontemporer muncul ke permukaan kita. Berbagai karya musik kontemporer yang pernah dicipta oleh komponis seperti, Charles Ives, John Cage, Edgar Varese, Steve Reich dan lain sebagainya, masing-masing memiliki keunikan tersendiri sekalipun mereka dapat disebut sebagai komponis Amerika. Tapi lain hal jika kita mendengar musik blues misalnya, sekalipun para penyanyi atau pemain musiknya memiliki cara interpretasi yang cukup unik, akan tetapi konsep gramatik musiknya seperti penggunaan kerangka akor, jajaran nadanya, pola ritmenya dan lain-lain dapat dikenali secara mudah karena semua konsepnya itu telah menjelaskan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang telah baku. Demikian juga dalam musik gamelan Sunda misalnya, konsep kenongan goongan, perbedaan irama kering, sawilet, dua wilet dan lain sebagainya merupakan ciri-ciri yang dapat menjelaskan konsep gamelan kliningan yang telah mapan itu. Keindividualannya tidak dapat dilihat dari aspek kompositorisnya akan tetapi hanya terletak dari interpretasi pemainnya.
Di Indonesia, perkembangan musik kontemporer baru mulai dirasakan sejak diselenggarakannya acara Pekan Komponis Muda tahun 1979 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Melalui acara itu komunikasi para seniman antar daerah dengan berbagai macam latar belakang budaya lebih terjalin. Forum diskusi serta dialog antar seniman dalam acara tersebut saling memberi kontribusi sehingga membuka paradigma kreatif musik menjadi lebih luas. Sampai hari ini para komponis yang pernah terlibat dalam acara itu menjadi sosok individual yang sangat memberi pengaruh kuat untuk para komponis musik kontemporer selanjutnya. Nama-nama seperti Rahayu Supanggah, Al Suwardi, Komang Astita, Harry Roesli, Nano Suratno, Sutanto, Ben Pasaribu, Trisutji Kamal, Tony Prabowo, Yusbar Jailani, Dody Satya Ekagustdiman, Nyoman Windha, Otto Sidharta dan masih banyak yang belum disebutkan, adalah para komponis kontemporer yang ciri-ciri karyanya sulit sekali dikategorikan secara konvensional. Karya-karya mereka selain memiliki keunikan tersendiri, juga cukup bervariasi sehingga dari waktu ke waktu konsep-konsep musik mereka bisa berubah-ubah tergantung pada semangat serta kapasitas masing-masing dalam mengembangkan kreatifitasnya. Pada puncaknya, karya-karya musik kontemporer tidak lagi menjelaskan ciri-ciri latar belakang tradisi budayanya walaupun sumber-sumber tradisi itu masih terasa lekat. Akan tetapi sikap serta pemikiran individual-lah yang paling penting, sebagai landasan dalam proses kreatifitas musik kontemporer. Sikap serta pemikiran itu tercermin seperti yang telah dikemukakan komponis kontemporer I wayan Sadra[2] antara lain, “Kini tak zamannya lagi membuat generalisasi bahwa aspirasi musikal masyarakat adalah satu, dengan kata lain ia bukan miliki kebudayaan yang disimpulkan secara umum, melainkan milik pribadi orang per orang”.
Musik Kontemporer Di Daerah Sunda
Mengamati perkembangan musik kontemporer di daerah sendiri tampaknya agak menyedihkan. Selain apresiasi masyarakat Sunda belum begitu memadai, para komponisnya yang relatif sangat sedikit, juga dukungan pemerintah setempat atau sponsor-sponsor lain untuk penyelenggaraan konser-konser musik kontemporer sangat kurang. Di Yogyakarta misalnya, secara konsisten selama belasan tahun mereka berhasil menyelenggarakan acara Yogyakarta Gamelan Festival tingkat Internasional yang didalamnya banyak sekali karya-karya musik kontemporer dipentaskan. Kota Solo pada tahun 2007 dan 2008 telah menyelenggarakan acara SIEM (Solo International Ethnic Music). Banyak karya-karya musik kontemporer dipentaskan dalam acara itu dengan jumlah penonton kurang lebih 50.000 orang. Festival “World Music” dengan nama acara “Hitam Putih” di Riau, Festival Gong Kebyar di Bali dan lain sebagainya. Acara-acara tersebut secara rutin dilakukan bukan sekedar “ritual” atau memiliki tujuan memecahkan rekor Muri apalagi mencari keuntungan, karena pementasan musik kontemporer seperti yang pernah dikatakan Harry Roesli merupakan “seni yang merugi akan tetapi melaba dalam tata nilai”.
Sebenarnya banyak komponis kontemporer di daerah Sunda yang cukup potensial, akan tetapi sangat sedikit yang konsisten. Salah satu komponis pertama yang perlu disebut adalah Nano S. Meskipun aktifitasnya lebih cenderung sebagai pencipta lagu, akan tetapi beberapa karyanya seperti karya “Sangkuriang” atau “Warna” memberi nafas baru dalam pengembangan musik Sunda. Komponis lain seperti Suhendi Afrianto, Ismet Ruhimat sangat nyata upayanya dalam pengembangan instrumentasi pada gamelan Sunda. Dodong Kodir yang cukup konsisten dalam upaya mengembangkan aspek organologi dalam komposisinya, Ade Rudiana yang sukses dalam pengembangan dibidang komposisi musik perkusi, Lili Suparli yang memegang prinsip kuat dalam pengolahan idiom-idiom musik tradisi Sunda, serta tak kalah penting komponis-komponis seperti Dedy Satya Hadianda, Dody Satya Eka Gustdiman, Oya Yukarya, Dedy Hernawan, Ayo Sutarma yang karya-karyanya cukup variatif dan memiliki orsinalitas dilihat dari aspek kompositorisnya. (posisi penulis sebagai komponis juga memiliki ideologi yang kurang lebih sama dengan para komponis yang terakhir disebutkan).
Dari beberapa komponis Sunda seperti yang telah disebutkan di atas, secara kompositoris karakteristik karyanya dapat dipetakan menjadi tiga kategori. Pertama adalah karya musik yang bersifat “musik iringan”. Konsep komposisi dalam karya seperti ini berdasar pada penciptaan suatu melodi (bentuk lagu/intrumental), kemudian elemen-elemen lainnya berfungsi mengiringi melodi tersebut. Kedua adalah karya musik yang bersifat “illustratif”. Konsep komposisinya berusaha menggambarkan sesuatu dari naskah cerita, puisi dan lain-lain. Dengan demikian orientasi musiknya lebih tertuju pada penciptaan suasana-suasana yang berdasar pada interpretasi komponisnya. Ketiga adalah karya musik yang bersifat otonom. Karya musik seperti ini biasanya sangat sulit dipahami oleh orang awam. Selain bentuknya yang tidak baku, aspek gramatika musiknya pun sangat berbeda jika dibandingkan dengan karya-karya tradisi. Kadang-kadang karya-karya musik seperti ini sering menimbulkan hal yang kontroversial. Seperti yang “anti tradisi”, padahal secara sadar atau tidak, semua tatanan konsepnya bersumber dari tradisi. Kategori yang seperti ini lebih dekat atau lebih cocok dengan fenomena musik kontemporer Barat (Eropa-Amerika).