A. PENDAHULUAN
Gotong royong bukan “barang baru” bagi masyarakat Indonesia. Setiap  sukubangsa mengenalnya dengan istilah yang berbeda. Orang Batak  menyebutnya “Dalihan Na Tolu”; Orang Makassar menyebutnya “Mapalus”;  Orang Lampung menyebutnya “Nemui Nyimah”; Orang  Trunyan (Bali)  menyebutnya “Sekaha”; Orang Kepulauan Kei (Maluku Tenggara) menyebutnya  “Masohi”; Orang Jawa menyebutnya “Sambatan”; dan masih banyak sebutan  lain yang ditujukan kepada gotong-royong, mengingat jumlah sukubangsa  yang ada di Indonesia, baik yang sudah maju maupun yang masih diupayakan  untuk berkembang (masyarakat terasing), lebih dari 500 sukubangsa  (Melalatoa, 1985).
Laksono (2009) menyebutkan bahwa istilah gotong-royong baru tertulis  dalam sebuah kamus Bahasa Jawa 1983. Meskipun demikian, menurutnya  gotong-royong sebagai praktek sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala.  Bayangkan saja bagaimana mungkin bangunan-bangunan megalitik di Nias,  Sumba, dan berbagai tempat lainnya dapat terwujud kalau tanpa ada  gotong-royong? Bayangkan juga bagaimana batu-batu besar itu dapat  disusun dan diukir menjadi candi di puncak Gunung Dieng, Borobudur, dan  Prambanan? Juga, bagaimana kerajaan-kerajaan kita dapat ditegakkan kalau  tanpa pengupahan (kalau tidak ada gotong-royong).  Oleh karena itu,  tidak berlebihan jika gotong-royong menjadi salah satu identitas  (jatidiri) bangsa Indonesia. Bahkan, salah seorang proklamator  kemerdekaan (Soekarno) di masa Orde Lama sempat mengkristalkan bahwa  inti Pancasila adalah gotong-royong (Ahimsa-Putra, 2008, lihat juga  Laksono, 2009).
Sebagai konsep gotong-royong sangat erat kaitannya dengan kehidupan  masyarakat, khususnya petani (Koentjaraningrat, 1985). Istilahnya  berasal dari bahasa Jawa yang menurutnya tidak terlalu tua. Sebab, baik  dalam kesusasteraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya (Kakawin, Kidung, dan  sebagainya), istilah itu tidak ditemukan. Bahkan, dalam kesusasteraan  Jawa Baru (Babad, Serat, dan sebagainya), juga tidak ditemukan. Sebagai  suatu sistem pengerahan tenaga, berdasarkan sifatnya, dapat  dikategorikan menjadi dua, yakni gotong-royong tolong-menolong dan  gotong-royong kerja bakti (Koentjaraningrat, 1985, lihat juga  Ahimsa-Putra, 2007, dan Rudito, 2007). Gotong-royong tolong menolong  biasanya terjadi dalam ketetanggaan, kekerabatan, ekonomi (pertanian).  Gotong-royong ini, terutama yang bersifat bukan spontan, ada semacam  pamrih (berasaskan timbal-balik). Sedangkan, gotong-royong kerja bakti  tidak ada pamrih karena bukan merupakan kepentingan individual  (perorangan), tetapi merupakan kepentingan bersama, seperti: bersih  desa, perbaikan jalan desa, dan perbaikan saluran air (selokan).
Pada masa lalu, terutama di daerah pedesaan, pengerahan tenaga pada  gotong-royong tolong-menolong dari luar kalangan keluarga pada  gilirannya akan dibayar dengan tenaga juga. Namun, dalam  perkembangannya, khususnya yang berkenaan dengan pengolahan tanah  pertanian, masyarakat desa mulai menggantinya dengan uang karena dinilai  lebih praktis  (Koentjaraningrat, 1985). Dengan perkataan lain, orang  lebih suka menggunakan jasa buruh ketimbang tenaga suka rela  (gotong-royong) yang bertele-tele dan terkadang merepotkan pemilik  sawah. Faktor lain yang pada gilirannya membuat seseorang menggantikan  tenaga dengan uang adalah keheterogenan suatu masyarakat. Sebab dalam  masyarakat yang demikian, jenis pekerjaan yang digeluti oleh warganya  sangat kompleks, sehingga irama kerja dan kepentingannya menjadi tidak  sama. Ketidak-samaan irama dan kepentingan itulah yang kemudian wujud  pengerahan tenaga (gotong-royong) digantikan dengan uang atau mengupah  kepada seseorang sebagai wujud partisipasi dalam kegiatan  gotong-royong. 
Apa yang dikatakan oleh kedua pakar antropologi tersebut, menurut  penulis, tidak seluruhnya benar karena gotong-royong yang dilakukan oleh  Orang Samin yang berada di Kabupaten Blora (Jawa Tengah) masih bersifat  personal. Artinya, tenaga dibayar dengan tenaga, bukan dapat digantikan  dengan barang atau uang (Galba, 2009). Namun demikian, apa yang  dikatakan oleh kedua pakar tersebut juga tidak berlebihan karena dewasa  ini kepartisipasian seseorang dalam bergotong-royong dapat diwujudkan  dalam bentuk uang atau mengupah orang lain, sebagaimana yang terjadi  pada masyarakat Dusun Klayu, Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon,  Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).  Gotong-royong, baik yang bersifat tolong-menolong maupun kerja bakti,  yang pada awalnya lebih menekankan atau keterlibatan secara fisik para  anggota masyarakatnya, kini dapat digantikan dengan uang atau mengupah  kepada orang lain. 
Gotong-royong, sebagaimana telah disinggung di atas, terdiri atas  gotong-royong tolong-menolong dan gotong-royong kerja bakti. Ini artinya  cakupan kegiatan gotong-royong sangat luas. Artikel ini hanya akan  membahas satu kegiatan gotong-royong yang berkenaan dengan kepentingan  bersama (gotong-royong kerja bakti). Itupun hanya gotong-royong yang  berkenaan dengan keagamaan dengan kasus masyarakat Dusun Klayu dalam  merehab dan sekaligus meningkatkan status musholla menjadi sebuah mesjid  yang bernama “Al Fajar”. Dengan perkataan lain, artikel ini akan  membahas bagaimana prosesnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya  serta kaitannya dengan pendidikan budaya. 
B. DUSUN KLAYU SELAYANG PANDANG
Dusun Klayu, sebagaimana telah disinggung di bagian depan, secara  administratif termasuk dalam wilayah Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon,  Kabupaten Bantul, DIY. Dusun yang terletak kurang lebih 9 kilometer dari  Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ke arah tenggara ini sebelah timur  dibatasi oleh Jalan Imogiri Barat; sebelah barat dibatasi oleh Dusun  Kepek; dan sebelah utara dan selatan masih berupa persawahan. Luasnya  kurang lebih 1.000 meter persegi; suatu luas yang relatif kecil (sempit)  dibandingkan dengan dusun-dusun lainnya yang ada di Desa Timbulharjo.  Konon, luas dusun yang relatif sempit ketimbang dusun-dusun lainnya dan  tidak digabung dengan dusun-dusun yang bersebelahan (Dusun Kepek dan  Dusun Ngentak) membuat penduduknya berkeinginan untuk bergabung dengan  salah satu dusun tersebut. Namun, keinginan tersebut tidak terwujud.  Keinginan yang tidak terwujud itu menurut masyarakat setempat disebut  “klayu”. Oleh karena itu, dusun tersebut diberi nama “Klayu”. Versi yang  lain menyebutkan bahwa di dusun tersebut terdapat pohon “Klayu”  (sejenis Gayam). Kemudian, versi lainnya lagi menyebutkan bahwa dusun  tersebut merupakan daerah “playuan” (pendatang), sehingga penduduknya  sebagian besar berasal dari daerah lain.
Lepas dari berbagai versi tentang asal mula nama “Klayu”, yang jelas  penduduknya berjumlah 420 jiwa. Dari jumlah itu yang menjadi Kepala  Keluarga (KK) 80 jiwa. Jenis matapencaharian yang digeluti oleh warganya  cukup bervariasi (kompleks), mulai dari petani, pedagang, pertukangan,  PNS, POLRI, sampai serabutan (apa saja dikerjakan yang penting halal).  Dari berbagai jenis pekerjaan itu yang banyak digeluti oleh penduduknya  adalah bertani, baik sebagai petani pemilik maupun buruh tani (mayoritas  petani). Satu hal yang cukup menarik adalah dalam pembalikan tanah  (mbajak) dan menghaluskan/meratakan tanah (nggaru) tidak lagi  menggunakan tenaga hewan (sapi), tetapi telah menggunakan traktor. Jadi,  pemeliharaan sapi lebih bersifat sebagai “tabungan” yang sewaktu-waktu  dapat digunakan (dijual) untuk keperluan yang sifatnya mendesak.
Masyarakat Dusun Klayu hampir semuanya beragama Islam. Hanya dua  keluarga yang menganut agama lain (Kristen). Oleh karena itu, tidak  mengherankan jika kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan agama Islam  lebih menonjol ketimbang agama lainnya. Kegiatan-kegiatan itu –selain  kegiatan yang menyangkut hari-hari besar agama Islam—adalah tahlilan  yang dilakukan setiap malam Jumat Kliwon, dan pengajian yang dilakukan  secara berkala di musholla1).   Selain kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan (Islam),  warga Dusun Klayu membentuk suatu sarana komunikasi/paguyuban yang  bernama “Akur Sentosa”. Sesuai dengan namanya, paguyuban tersebut  diharapkan dapat mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Melalui  paguyuban tersebut segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan  bersama, baik kerukunan, keamanan, kesejahteraan, mapun  kegotong-royongan dimusyawarahkan. Agar paguyuban dapat berjalan dan  berfungsi sesuai dengan diharapkan, maka penggalangan dana sangat  diperlukan. Dan, bedasarkan musyawarah dan mufakat, dana diperoleh dari  berbagai cara, yaitu:
1. Jimpitan
Pada mulanya setiap KK diwajibkan untuk menaruh beras sejimpit (lebih  sedikit dibanding dengan segenggam). Beras tersebut ditempatkan pada  suatu wadah dan diletakkan pada suatu tempat yang tidak tersembunyi.  Biasanya ditempelkan pada dinding rumah bagian depan. Namun, dewasa ini  walaupun namanya tidak berubah (tetap jimpitan), tetapi isinya diganti  dengan uang sejumlah Rp100,00. Uang tersebut setiap malam diambil oleh  peronda (siskamling), dan setiap dua minggu sekali diserahkan kepada  paguyuban. Setiap penyerahan jumlahnya sekitar 7xRp13.000,00=  Rp91.000,00.
2. Iuran Wajib
Setiap dua minggu sekali paguyuban mengadakan pertemuan yang tempatnya  dilakukan secara bergilir, sehingga setiap anggota paguyuban mempunyai  kesempatan untuk menjadi tuan rumah2).  Dalam pertemuan tersebut setiap anggota diwajibkan untuk membayar iuran  sejumlah Rp1000,00. Dengan demikian, setiap dua minggu sekali paguyuban  memperoleh dana sejumlah Rp80.000,00.
3. Harta Benda
Harta benda yang dimaksud dalam paguyuban Akur Sentosa adalah  barang-barang milik paguyuban yang berupa: tenda, tikar, kursi, keser,  barang-barang pecah belah, dan pepohonan kelapa milik dusun.  Barang-barang tersebut dapat dipinjam oleh warga dengan cara sewa secara  suka rela. Mengingat bahwa barang-barang tersebut tidak setiap hari  diperlukan warga, maka dana yang diperoleh dari harta benda ini juga  tidak dapat ditentukan jumlahnya. 
4. Bantuan Desa dan Instansi Lain
Sebagai bagian dari wilayah Desa Timbulharjo, Dusun Klayu, sebagaimana  dusun-dusun lainnya, juga secara berkala memperoleh kucuran dana  pembangunan. Dalam perehaban dan sekaligus peningkatan fungsi musholla  Al-Fajar menjadi sebuah mesjid yang namanya sama, desa menyumbang uang  sejumlah Rp5.000.000,00. Sementara, Departemen Agama Provinsi DIY  menyumbang Rp10.000.000,00.
5. Simpan-Pinjam
Uang yang diperoleh, baik dari jimpitan, iuran wajib, harta benda,  maupun bantuan dari instansi, dikumpulkan dan dijadikan sebagai modal  untuk kegiatan simpan-pinjam. Dewasa ini setiap anggota paguyuban  diperbolehkan memimjam uang sejumlah Rp200.000,00. Uang tersebut  diangsur 12 kali ketika ada pertemuan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa keberadaan paguyuban dalam kehidupan  masyarakat Dusun Klayu sangat vital. Melalui paguyuban segala sesuatu  yang berkenaan dengan kehidupan bersama dalam satu wilayah, termasuk  permasalahan yang ada dapat dipecahkan. Satu contoh adalah kondisi  musholla yang bagian atapnya sudah rapuh. Kondisi musholla yang demikian  mengkhawatirkan itu dibicarakan dalam pertemuan paguyuban. Dan,  hasilnya adalah kesepakatan untuk merehabnya dengan sistem  gotong-royong. 
C. GOTONG-ROYONG DALAM PEREHABAN DAN SEKALIGUS PENINGKATAN FUNGSI MUSHOLLA MENJADI SEBUAH MESJID
Masyarakat Dusun Klayu, sebagaimana telah disinggung, hampir seluruhnya  beragama Islam. Mereka memiliki sebuah musholla yang berada di tengah  pedusunan. Musholla tersebut, selain digunakan untuk menunaikan ibadat  (sholat lima waktu), juga sebagai tempat pengajian, sholat Idul Adha dan  Idul Fitri. Permasalahannya adalah ketika warga dusun akan menunaikan  sholat Jumat, mereka harus pergi ke mesjid yang ada di dusun sebelahnya  (Dusun Ngentak). Hal itu disebabkan Dusun Klayu belum memiliki mesjid.  Padahal, jumlah pemeluk agama Islam yang ada di dusun tersebut memenuhi  persyaratan untuk mendirikan sebuah mesjid. Bertolak dari pemikiran itu,  ditambah dengan kondisi kerangka atap musholla yang sudah rapuh, maka  masyarakat Dusun Klayu bersepakat untuk merehab dan sekaligus  meningkatkan fungsi musholla menjadi mesjid dengan sistem gotong-royong.  Berikut ini adalah deskripsi tentang bagaimana mereka melaksanakannya.
1. Persiapan
Agar perehaban dapat berjalan secara lancar dan terorganisir, maka perlu  adanya kepanitiaan. Kepanitiaan dibentuk berdasarkan musyawarah dan  mufakat pada saat pertemuan rutin. Setelah kepanitiaan terbentuk,  barulah dibicarakan pendanaan dan bagaimana memperolehnya. Dana yang  dibutuhkan untuk kegiatan tersebut sekitar Rp60.000.000,00. Berdasarkan  musyawarah dan mufakat disepati bahwa setiap anggota paguyuban  diwajibkan untuk menyumbang minimal Rp50.000,00. Untuk mengetahui jumlah  dana yang akan diperoleh dari anggota paguyuban, setiap anggota diminta  untuk mengisi daftar sumbangan sesuai dengan kemampuan (seikhlasnya).  Sumbangan secara suka rela tersebut dapat diangsur dalam dua kali  pertemuan (sebulan).
Mengingat dana yang dibutuhkan relatif besar, sementara dana yang  diperkirakan dari para anggota tidak mencukupinya, maka diperlukan dana  dari pihak luar, seperti: Pemerintah Desa, Departemen Agama Provinsi  DIY, dan perorangan. Untuk itu, diperlukan proposal. Dan, panitia yang  membuatnya. 
Dalam persiapan juga dibicarakan bahan yang akan digunakan untuk  menopang genteng (kerangka atap). Ada dua alternatif yang ditawarkan  ketua panitia, yaitu kerangka yang tetap terbuat dari kayu dan kerangka  baja. Dari segi biaya, kerangka baja lebih mahal ketimbang kerangka  kayu. Namun, dari segi kekuatan, kerangka baja lebih kuat ketimbang  kerangka kayu. Kemudian, dari segi waktu, kerangka baja lebih cepat  penggarapannya ketimbang kerangka kayu. Mengingat beberapa bulan lagi  bulan puasa tiba, maka disepakati bahwa kerangka atap yang digunakan  adalah baja, sehingga mesjid dapat berfungsi pada bulan tersebut (dapat  digunakan untuk sholat tarawih dan Idul Fitri). 
Selain itu, dalam persiapan juga dibicarakan tentang ketenagaan. Ada dua  kategori yang berkenaan dengan ketenagaan, yaitu: tenaga ahli dan  tenaga non-ahli. Berkenaan dengan tenaga ahli, di Dusun Klayu ada 5  orang berprofesi sebagai tukang batu. Kelima tukang tersebut, walaupun  sering disebut sebagai tukang batu, namun dalam kenyataannya mereka juga  dapat mengerjakan pekerjaan yang berkenaan dengan kayu, khususnya yang  berkenaan dengan perumahan (bukan permebelan). Selain itu, di Dusun  Klayu juga ada orang yang bekerja sebagai tukang las. Dalam kegiatan  perehaban mereka diserahi tugas untuk: pengecoran, pemasangan bata  (penembokan), pembuatan kerangka atap, penurunan dan pemasangan genteng,  serta pemasangan kubah (mustaka). Mereka dibayar sebagaimana mestinya  (Rp45.000,00 per hari). Mengingat bahwa pekerjaan tersebut masih dalam  kerangka gotong-royong, maka para tenaga ahli tersebut hanya diberi  minuman dan makanan kecil. Jadi, makan siang di rumah masing-masing.  Sedangkan, jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga yang bukan  ahli meliputi: pembesihan lingkungan tempat ibadat, membantu menurunkan  genteng, pembersihan dan pengecetan genteng, dan membantu menaikkan  genteng, dan lain sebagainya, pendek kata yang tidak memerlukan keahlian  khusus. Para tenaga yang tidak memiliki keahlian khusus ini tidak  setiap hari ikut bergotong-royong.  Akan tetapi, pada hari-hari  tertentu, yaitu hari Minggu karena, baik yang bekerja sebagai PNS maupun  swasta, hari tersebut merupakan hari libur. Namun demikian, bukan  berarti setiap hari Minggu diadakan kegiatan gotong-royong karena  pertemuan paguyuban dilakukan setiap dua minggu sekali. Jadi, setiap  pertemuan, disamping ada acara sebagaimana biasanya, yaitu, iuran wajib,  jimpitan, pembayaran utang dan sekaligus peminjaman, dan  pertanggungjawaban (laporan) ketua tentang keuangan, juga pekerjaan yang  akan dilakukan berkenaan dengan perehabatan. 
2. Pelaksanaan
a. Pembersihan Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud di sini adalah lingkungan fisik musholla yang  akan direhab, seperti: halaman depan, samping kiri, samping kanan, dan  belakang musholla. Halaman-halaman tersebut perlu bersih atau rapi  karena, jika tidak, akan mengganggu para pekerja. Sebenarnya dalam  pertemuan (malam Minggu) sudah disepakati besok (hari Minggu) ada  gotong-royong. Namun demikian, sekitar pukul 07.30 WIB, ketua RT  mengingatkan kembali kepada warganya dan sekaligus menghimbau agar  datang ke musholla untuk gotong-royong (melalui pengeras suara). 
Tidak lama kemudian, berdatangan para warga dusun (Klayu) ke tempat yang  telah ditentukan. Pukul 08.00 WIB gotong-royong pun dimulai. Ada yang  meratakan tanah dengan cangkul, ada yang menyapu sampah kemudian  membuangnya ke tempat yang telah disediakan, ada yang menebas  semak-belukar, ada yang mencabuti rerumputan, dan sebagainya. Pendek  kata, para pegotong-royong berbuat sesuatu yang bermuara pada bersihnya  lingkungan musholla. Sekilas, mereka tampaknya asyik dengan apa yang  dilakukan. Namun, sekali-sekali terdengar lontaran gurauan yang saling  bersautan, sehingga suasananya gayeng. 
Pukul 09.00 WIB di bagian depan gudang musholla telah tersedia minuman  (teh manis), makanan kecil (lemet, roti, lempeng, dan rambak), dan rokok   (Garam Garam Internasional, Jarum 76, Bintang Buana Filter, Bintang  Buana Kretek, dan Polo Mild) yang disediakan oleh panitia (kadang-kadang  ada warga yang dengan suka rela memberinya). Dengan telah tersedianya  hidangan tersebut, maka para pegotong-royong dipersilahkan beristirahat  sejenak (kurang lebih 0,5 jam) untuk menikmati hidangan seadanya.  Gurauan antarpegotong-royong juga menyertainya, sehingga gayeng.
Pukul 09.30 WIB gotong-royong dilanjutkan. Oleh karena kegiatan  bersih-bersih lingkungan tidak membutuhkan keahlian khusus, apa yang  dikerjakan oleh seseorang dapat digantikan dengan orang lain. Jadi,  kalau sebelum istirahat ada yang menyapu, maka setelah istirahat  pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh orang lain yang sebelumnya  merumput, dan sebaliknya. Pendek kata, orang dapat mengerjakan apa saja  yang berkenaan dengan kebersihan lingkungan musholla. 
Pukul 11.30 kembali lagi para pegotong-royong beristirahat. Kali ini  bukan untuk menikmati minuman dan makanan kecil, tetapi saatnya orang  melakukan ibadat (sholat dzuhur), lalu makan siang di rumah  masing-masing. Oleh karena lingkungan sudah cukup bersih, maka  pegotong-royong sebagian, terutama yang bukan tenaga ahli, tidak kembali  lagi. Akan tetapi, para tenaga ahli tetap datang dan mengerjakan apa  yang ditugaskan oleh panitia, mulai dari pukul 14.00 WIB sampai dengan  menjelang waktu ashar (sekitar pukul 15.30 WIB). Sesuai dengan  kesepakatan, mereka dibayar sebagaimana mestinya (Rp45.000,00 per hari).
b. Penurunan Genteng
Sebelum penggantian dan pemasangan kerangka atap, tentu saja genteng  harus diturunkan. Sebagaimana membersihkan lingkungan musholla,  penurunan genteng yang dilakukan secara gotong-royong juga dilakukan  pada hari Minggu. Sama seperti gotong-royong membersihkan lingkungan  musholla, sebelum kegiatan dilakukan, sekitar pukul 07.30 WIB, ketua RT  mengingatkan kembali kepada warganya dan sekaligus menghimbau agar  datang ke musholla untuk bergotong-royong (melalui pengeras suara). 
Penurunan genteng merupakan pekerjaan yang tidak terlalu memerlukan  keahlian khusus. Artinya, siapa saja dengan sedikit keberanian, karena  harus ke atap, dapat melakukannya. Namun demikian, pencopotan genteng  dilakukan oleh orang terbiasa melakukannya (para tukang). Sementara,  orang-orang yang tidak biasa melakukannya, bahkan yang tidak pernah  mempunyai pengalaman itu, cukup hanya di bawah. Mengingat penurunan  genteng dan kerangka atap (termasuk usuk dan reng) ada kemungkinan  genteng jatuh dan atau usuk atau reng jatuh menimpa plafon, dan playon  pecah sehingga genteng dan atau bagian kerangka atap mengenai lantai  yang terbuat dari keramik, maka lantai tersebut dilindungi dengan pasir.  Dengan demikian, jika ada yang jatuh, lantai keramik tidak tergores  atau pecah. 
Tidak ada peralatan khusus dalam kegiatan penurunan genteng, kecuali  tangga yang salah satu ujungnya berada di tanah dan ujung lainnya  ditempelkan pada risplang. Ada beberapa orang yang bertugas mencopoti  genteng (berada di atap), ada dua orang yang berdiri di atas tangga, dan  banyak orang yang berada di bawah. Orang-orang yang ada di bawah  berjejer dengan jarak satu lengan orang dewasa (kurang lebih 70 cm).  Genteng-genteng yang telah dicopot diteruskan kepada orang-orang yang  berada di tangga, dan diteruskan kepada orang-orang yang berjejer di  bawahnya (model estafet), kemudian disusun di suatu tempat. Dengan cara  seperti itu penurunan genteng dapat dilakukan dalam waktu yang relatif  cepat.
Penurunan genteng yang dilakukan secara gotong-royong tersebut dimulai  pukul 08.00 WIB. Pukul 09.00 WIB para pegotong-royong beristirahat  sejenak sambil menikmati minuman dan makanan kecil serta rokok yang  disediakan panitia. Pukul 09.30 WIB gotong-royong dilanjutkan. Menjelang  waktu dzuhur (pukul 11.30) kegiatan penurunan genteng selesai. Oleh  karena itu, para pegotong-royong pulang ke rumah masing-masing untuk  menunaikan sholat dzuhur (bagi yang beragama Islam) dan makan siang.  Pukul 14.00 WIB gotong-royong dilanjutkan sampai dengan menjelang waktu  ashar (sekitar pukul 15.30 WIB). Namun, kali ini yang bergotong-royong  hanya orang-orang yang memiliki keahlian khusus (para tukang). Walaupun  apa yang dikerjakannya sebenarnya masih dalam kerangka gotong-royong,  namun mereka tetap dibayar sesuai dengan kesepakatan, yaitu Rp45.000,00  perhari). 
Sebagaimana gotong-royong dalam memberisihkan lingkungan, gotong-royong  dalam penurunan genteng ini juga disertai gurauan antarpegotong-royong.  Di sana-sini terdengar tidak hanya teriakan yang cukup keras, tetapi  juga tawa yang cukup keras, sehingga suasana menjadi meriah alias  gayeng. 
c. Perbersihan dan Pengecatan Genteng
Genteng adalah bagian bangunan (musholla) yang langsung tertimpa oleh  gerimis dan atau derasnya air hujan, teriknya sinar matahari, dan  debu-debu yang berterbangan. Dalam waktu yang relatif lama, warna yang  pada mulanya kemerah-merahan menjadi kehitam-hitaman alias kotor. Untuk  itu, perlu dibersihkan untuk mempermudah pengecetan, sehingga cat dapat  melekat dengan baik dan tampak seperti baru lagi. 
Pembersihan dan pengecatan genteng dilakukan secara bersama-sama.  Artinya, ada orang-orang yang membersihkannya dan ada orang-orang yang  mengecatnya. Sebelum genteng dibersihkan, genteng tersebut dibasahi  (dimasukkan dalam tempat penampung air yang terbuat dari plastik). Hal  itu dimaksudkan agar debu-debu atau kotoran yang melekat pada genteng  dapat dibersihkan dengan mudah. Alat yang digunakan untuk membesihkannya  adalah kulit buah kelapa yang dibentuk sedemikian rupa (menyerupai segi  tiga) dan logam yang menyerupai plastik (lentur). Genteng-genteng yang  telah dibersihkan disusun sedemikian rupa, kemudian yang sudah kering  dicat dengan warna hijau tua. Adapun yang dicat hanya bagian permukaan  (bagian luar) dan sisi bagian bawah yang oleh masyarakat setempat  disebut “bokong”. Permukaan bagian dalam tidak perlu dicat karena ketika  genteng dipasang tidak kelihatan (tertutup oleh plafon). Selanjutnya,  genteng-genteng yang telah dicat disusun sedemikian rupa agar cepat  kering, kemudian disusun secara berdiri pada suatu tempat yang tidak  mengganggu jalannya orang-orang yang lalu-lalang. 
Pembersihan dan pengecatan genteng yang dilakukan secara gotong-royong  tersebut dimulai pukul 08.00 WIB. Pukul 09.00 WIB para pegotong-royong  beristirahat sejenak sambil menikmati minuman dan makanan kecil serta  rokok yang disediakan panitia. Pukul 09.30 WIB gotong-royong  dilanjutkan. Menjelang waktu dzuhur (pukul 11.30 WIB) para  pegotong-royong beristirahat lagi. Kali ini mereka pulang ke rumah  masing-masing untuk menunaikan sholat dzuhur (bagi yang beragama Islam)  dan makan siang. Gotong-royong dilanjutkan lagi mulai pukul kurang lebih  14.00 WIB sampai dengan menjelang waktu ashar (sekitar pukul 15.30  WIB). Namun, kali ini yang bergotong-royong hanya orang-orang yang  memiliki keahlian khusus (para tukang). Walaupun apa yang dikerjakannya  sebenarnya masih dalam kerangka gotong-royong, namun mereka tetap  dibayar sesuai dengan kesepakatan, yaitu Rp45.000,00 perhari). 
Sebagaimana gotong-royong dalam memberisihkan lingkungan dan  gotong-royong dalam penurunan genteng, gotong-royong dalam pembersihan  dan pengetatan genteng juga disertai dengan gurauan  antarpegotong-royong. Di sana-sini terdengar tidak hanya teriakan yang  cukup keras, tetapi juga tawa yang cukup keras, sehingga suasana meriah  alias gayeng.
d. Pemasangan Genteng 
Setelah kerangka atap yang terbuat dari baja sudah terpasang lengkap  dengan usuk dan ring-nya, maka genteng-genteng yang telah dicat  dinaikkan kemudian dipasang satu-persatu. Sebagaimana kegiatan penurunan  genteng, penaikan dan sekaligus pemasangan genteng juga ada orang yang  bertugas memasangnya. Orang-orang yang mengerjakan pemasangan genteng  adalah orang-orang yang pada waktu penurunan genteng mengerjakan  pencopotan genteng. Cara menaikkan genteng dilakukan dengan sistem  estafet. Jadi, sama dengan penurunan genteng; bedanya jika dalam  penurunan genteng, genteng dicopot kemudian diturunkan, maka dalam  pemasangan genteng, genteng dinaikkan kemudian dipasang. Jadi,  sebaliknya.
Penaikkan dan pemasangan genteng ini tidak lepas dari dari peringatan  seperti: awas, hati-hati, dan sebagainya. Selain itu, juga sekali-sekali  terdengar gurauan. Kegiatan tersebut dimulai pukul 08.00 WIB. Pukul  09.00 WIB para pegotong-royong beristirahat sejenak sambil menikmati  minuman dan makanan kecil serta rokok yang disediakan panitia. Pukul  09.30 WIB gotong-royong dilanjutkan. Menjelang waktu dzuhur (pukul  11.30) para pegotong-royong beristirahat lagi. Kemudian, dilanjutkan  pukul kurang lebih 14.00 WIB sampai dengan menjelang waktu ashar  (sekitar pukul 15.30 WIB). 
e. Pembersihan Lingkungan
Jika kegiatan yang dilakukan pada pembersihan lingkungan yang dilakukan  pada tahap awal bersifat untuk mempermudah pengerjaan rehab, maka  pembersihan lingkungan dilakukan pada tahap ini adalah membersihkan  segala sesuatu akibat perehaban, seperti: bata-bata yang berserakan,  pecahan plafon, pecahan genteng, kayu-kayu usuk dan reng lama yang  berserakan, pasir-pasir yang berceceran, dan pasir-pasir yang menutupi  lantai musholla. Jadi, dalam pembersihan lingkungan ini ada orang-orang  menyusun bata-bata yang masih utuh pada suatu tempat yang tidak  menghalangi lalu-lintas orang; ada yang menyusun bekas usuk dan reng  pada suatu tempat; ada yang menyapu halaman lantai musholla dari kerakal  dan pasir; ada yang membersihkan lantai dengan cara menyiraminya dengan  air; ada yang mengumpulkan kerakal kemudian memasukkannya ke dalam  keser yang kemudian dibuang ke suatu tempat (antara lain untuk menguruk  jalan dusun); dan sebagainya. Pendek kata, setiap pegotongan-royong  mengerjakan apa yang bisa dikerjakan (semampunya).
Sama seperti kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan secara gotong-royong,  kegiatan pembersihan lingkungan ini juga dimulai pukul 08.00 WIB. Pukul  09.00 WIB para pegotong-royong beristirahat sejenak sambil menikmati  minuman dan makanan kecil serta rokok yang disediakan panitia. Pukul  09.30 WIB gotong-royong dilanjutkan. Menjelang waktu dzuhur (pukul  11.30) para pegotong-royong beristirahat lagi. Kemudian, dilanjutkan  pukul kurang lebih 14.00 WIB sampai dengan menjelang waktu ashar  (sekitar pukul 15.30 WIB). 
D. NILAI-NILAI DAN FUNGSI YANG TERKANDUNG DALAM GOTONG-ROYONG  PEREHABAN DAN SEKALIGUS PENINGKATAN FUNGSI MUSHOLLA MENJADI SEBUAH  MESJID
Gotong-royong sesungguhnya adalah suatu nilai. Sebagai suatu nilai,  gotong-royong baru dapat diamati setelah terwujud dalam aspek tingkah  laku. Misal, ada orang-orang yang bersama-sama mengerjakan sesuatu  dengan tujuan tertentu yang merupakan kepentingan bersama, Satu di  antaranya adalah kegiatan perehaban musholla dan sekaligus peningkatan  fungsinya menjadi sebuah mesjid yang dilakukan oleh masyarakat Dusun  Klayu. Kegiatan tersebut jika dicermati secara saksama mengandung  nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan hidup bersama  dalam suatu masyarakat. 
Kontjaraningrat (1985) menyebutkan bahwa nilai yang melatarbelakangi  segala aktivitas tolong-menolong antarwarga sedesa adalah nilai budaya  yang berkenaan dengan hakekat hubungan antarmanusia yang mengandung  empat konsep, yaitu: (1) Manusia tidak hidup sendiri tetapi dikelilingi  oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dalam  sistem makrokosmos ia merasa dirinya hanya sebagai unsur kecil yang ikut  terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar; (2) Dengan  demikian, dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakekatnya  bergantung dengan sesamanya; (3) Oleh karena itu, ia harus selalu  berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan  sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata-sama rasa; dan (4) Selalu  berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dan hidup  bersama dengan sesamanya  dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama  tinggi-sama rendah.
Bertolak dari pendapat di atas, maka gotong-royong yang dilakukan oleh  masyarakat Dusun Klayu, jika dicermati secara seksama, mengandung  nilai-nilai: yang pada gilirannya dapat dijadikan acuan dalam hidup  bermasyarakat. Nilai-nilai itu antara lain: kerbergantungan dengan  sesamanya, kebersamaan, musyawarah, dan kerjasama. Nilai kebergantungan  dengan sesamanya tercermin dari kepuduliannya terhadap gotong-royong  yang ada di dusunnya, yaitu perehaban dan sekaligus perubahan fungsi  musholla menjadi sebuah mesjid, yaitu “Mesjid Al-Fajar. Kepedulian  tersebut tidak hanya yang bersifat materi (menyumbang uang dan atau  barang), tetapi juga non-materi (hadir dan ikut bekerja secara  bersama-sama). Semua itu dilatarbelakangi oleh nilai budaya yang  berkenaan dengan hakekat hubungan antarmanusia.  Dalam hal ini manusia  tidak hidup sendiri tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya,  dan alam semesta sekitarnya. Dalam sistem makrokosmos ia merasa dirinya  hanya sebagai unsur kecil yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam  semesta yang maha besar. Dengan demikian, dalam segala aspek  kehidupannya manusia pada hakekatnya bergantung dengan sesamanya. Oleh  karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara  hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata-sama rasa;  dan selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat  sama dan hidup bersama dengan sesamanya  dalam komunitas, terdorong oleh  jiwa sama tinggi-sama rendah. Sebab, jika tidak ia akan menjadi  pergunjingan. Konon, di masa lalu ada warga Dusun Klayu yang ora lumrah  (tidak pernah ikut kendurian dan pertemuan yang diselenggarakan oleh  paguyuban). Suatu  saat yang bersangkutan punya khajad (mengadakan  kenduri). Oleh karena yang bersangkutan kurang peduli terhadap sesama  warga, maka kendurian yang diselenggarakan hanya orang-orang tertentu  yang datang; sebagian besar sengaja tidak datang. Hal itu dimaksudkan  agar yang bersangkutan sadar bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri,  tetapi membutuhkan orang lain (makhluk social).
Nilai kebersamaan tercermin dari kasus rapuhnya kerangka atap musholla  merupakan masalah bersama karena musholla bukan milik perorangan, tetapi  milik bersama dan untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu,  pemecahannya atau bagaimana cara untuk memperbaikinya dilakukan secara  bersama-sama, baik yang menyangkut pendanaan maupun ketenagaan. 
Nilai musyawarah tercermin dari setiap pertemuan paguyuban yang  dilakukan setiap dua minggu sekali para anggota selalu diberi kesempatan  untuk menyampaikan saran yang berkenaan dengan perehaban, baik yang  menyangkut pekerjaan yang akan dilakukan, ketenagaan, maupun pendanaan.  Dengan demikian, keputusan yang dihasilkan merupakan keputusan yang  disepakati bersama. 
Nilai keterbukan tercermin dalam setiap pertemuan (dua minggu sekali)  ketua panitia, melalui bendahara, selalu melaporkan apa saja yang telah  dilakukan berkenaan dengan perehaban, dana yang masuk baik dari  perorangan maupun instansi, dana yang dikeluarkan untuk pembelian  material dan lain-lain (termasuk biaya tukang), dan jumlah uang yang ada  (saldo). Dengan demikian, setiap anggota mengetahui dana yang masuk dan  yang dikeluarkan serta saldonya. Sementara, nilai kerjasama tercermin  dari jalannya perehaban yang lancar karena masing-masing mengerjakan  sesuai dengan tugasnya, sehingga yang ditargetkan, yaitu mesjid dapat  berfungsi pada bulan puasa tercapai. 
E. GOTONG ROYONG SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN BUDAYA
Banyak definisi yang berkenaan dengan budaya karena kebudayaan meliputi  semua aspek kehidupan manusia. Namun demikian, ada satu hal yang tidak  boleh dilupakan, yaitu proses belajar. Artinya, kebudayaan tidak datang  dengan sendirinya tetapi harus dipelajari sejak manusia masih berusia  dini. Bahkan, sejak manusia masih berupa janin. Hal itu, tercermin dari  adanya pantangan-pantangan ketika seseorang berbadan dua (hamil) dan  upacara kehamilan (nujuh bulan) yang penuh dengan simbol-simbol yang  bermakna. Semua itu, dimaksudkan agar Sang jabang bayi kelak memiliki  watak dan kepribadian yang sesuai dengan masyarakatnya. Ketika anak  masih berusia dini, lingkungan keluarga merupakan wahana pembelajaran  budaya. Dari kedua orang tuanya, ia akan belajar dan atau diajari budaya  yang ditumbuh-kembangkan oleh masyarakatnya. Lalu, setelah bersekolah,  ia akan memperoleh pengetahuan budaya dari pada gurunya. Jadi,  pengetahuan budaya selain diperoleh dari lingkungan keluarga, juga  lingkungan sekolah. Selain itu, lingkungan yang tidak kalah pentingnya  adalah lingkungan masyarakat. Melalui masyarakat, seorang anak dapat  meniru budaya dan atau tradisi yang ditumbuh-kembangkan oleh  masyarakatnya. 
Fungsi budaya dalam suatu masyarakat adalah sebagai pedoman dalam  menanggapi lingkungannya (alam, social, dan budaya)(Suparlan, 1995).  Mengingat fungsinya yang demikian vital, maka setiap masyarakat,  termasuk masyarakat Dusun Klayu, memilikinya dan berusaha untuk  melestarikannya (melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan). Dalam  rangka pelestarian itulah pendidikan budaya menjadi penting. Pendidikan  budaya pada dasarnya adalah suatu kegiatan penanaman nilai-nilai yang  dijadikan acuan dalam bersikap dan bertingkah laku bagi suatu  masyarakat. Penanaman nilai-nilai itu dapat dilakukan oleh keluarga  (melalui kedua orang tuanya) sekolah (melalui para guru), dan masyarakat  (melalui warganya). Ini artinya, bahwa penanaman nilai-nilai tidak  hanya di lingkungan keluarga dan sekolah, tetapi juga masyarakat.
Satu tradisi yang ada di kalangan masyarakat Dusun Klayu adalah  gotong-royong, baik gotong royong yang menyangkut kepentingan individual  (perorangan) maupun kepentingan bersama. Gotong-royong perehaban dan  peningkatan fungsi musholla menjadi sebuah mesjid yang dilakukan oleh  masyarakat Dusun Klayu termasuk dalam kategori gotong-royong yang  menyangkut kepentingan bersama.
Gotong-royong, sebagaimana telah disinggung pada bagian depan, adalah  nilai-budaya. Sebagai suatu sistem nilai, ia bersifat abstrak. Oleh  karena sifatnya yang demikian, maka ia tidak dapat dilihat (diamati),  difoto, dan diraba. Gotong-royong baru dapat diamati manakala telah  berwujud aktivitas (system social). Di sini dapat dilihat bagaimana  masyarakat Dusun Klayu bekerja bersama-sama dalam mewujudkan kepentingan  bersama, yaitu merehab musholla dan sekaligus meningkatkan fungsinya  menjadi sebuah mesjid yang bernama “Al-Fajar”. Mereka bekerja sesuai  kemampuan dan atau keahliannya. Jadi, ada yang membuat dan mengelas  kerangka atap yang terbuat dari baja; ada yang mengecor tiang-tiang  penjangga; ada yang memasang usuk dan reng; dan ada yang mencopot dan  memasang genteng. Pekerjaan-pekerjaan tersebut karena memerlukan  keahlian khusus (pengalaman), maka dikerjakan oleh para tukang (tukang  las, tukang batu, dan tukang kayu). Sementara, orang-orang yang tidak  memiliki keahlian khusus melakukan pekerjaan seperti: memindahkan,  menyusun, dan mengecat genteng, serta membersihkan lingkungan. Pendek  kata, segala sesuatu yang dikerjakan oleh para pegotong-royong dapat  diamati. 
Gotong-royong, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, jika  dicermati secara seksama, tidak hanya mengandung nilai: kerbergantungan  dengan sesamanya, kebersamaan, musyawarah, tetapi juga kerjasama.  Nilai-nilai tersebut sangat mendukung kehidupan bersama dalam suatu  masyarakat, dan karenaya gotong-royong perlu dilestarikan. Mengingat  kandungan nilainya sangat berarti dalam kehidupan bersama, maka  pelaksanaan gotong-royong dalam mewujudkan kepentingan bersama tersebut,  secara tidak langsung, merupakan wahana dalam pendidikan budaya  (penanaman nilai-nilai).
F. PENUTUP
Klayu adalah sebuah dusun yang secara administratif  termasuk dalam  wilayah Desa Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Provinsi  DIY. Masyarakatnya hampir seluruhnya beragana Islam, dan sebagian besar  bekerja sebagai petani. Di sana ada sebuah paguyuban yang bernama “Akur  Sentosa”. Melalui paguyuban tersebut permasalahan-permasalahan yang  menyangkut kehidupan bersama, baik keamanan, ketenteraman, maupun  kesejahteraan dipecahkan dengan cara musyawarah.
Sebagaimana masyarakat dusun lainnya yang ada di Desa Timbulharjo,  masyarakat Dusun Klayu juga memiliki tradisi dari para leluhurnya. Satu  tradisi yang sampai saat ini masih tetap diuri-uri (dilakukan) adalah  gotong-gotong. Hal itu tercermin dari perehaban dan sekaligus  peningkatan fungsi musholla menjadi sebuah mesjid (Al-Fajar).
Aktivitas gotong-royong dalam perehaban dan peningkatan mushola menjadi  sebuah mesjid tersebut, jika dicermati secara seksama, di dalamnya  terkandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bersama  dalam suatu wilayah (Dusun Klayu).  Nilai-nilai itu adalah  kerbergantungan dengan sesamanya, kebersamaan, musyawarah, kerjasama,  dan keterbukaan. Mengingat bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam  gotong-royong tersebut sangat bermanfaat dalam kehidupan bersama, maka  nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan kepada masyarakat, khususnya  generasi mudanya, sehingga tetap lestari. Salah satu caranya adalah  dengan mempergelarkan suatu kegiatan yang dilakukan secara  gotong-royong. Sebab, dengan digelarnya gotong-royong, masyarakat,  khususnya generasi mudanya, mengetahui bahwa gotong-royong tidak hanya  sekedar kerjasama atau kerja bakti, tetapi lebih dari itu karena di  dalamnya terkandung nilai-nilai yang dilatarbelakangi oleh nilai budaya  yang berkenaan dengan hakekat hubungan antarmanusia yang mengandung  empat konsep, yaitu: (1) Manusia tidak hidup sendiri tetapi dikelilingi  oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Dalam  system makrokosmos ia merasa dirinya hanya sebagai unsure kecil yang  ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang maha besar; (2)  Dengan demikian, dalam segala aspek kehidupannya manusia pada hakekatnya  bergantung dengan sesamanya; (3) Oleh karena itu, ia harus selalu  berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan  sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata-sama rasa; dan (4) Selalu  berusaha untuk sedapat mungkin bersifat conform, berbuat sama dan hidup  bersama dengan sesamanya  dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama  tinggi-sama rendah. Dengan demikian, gotong-royong sebagai salah satu  tradisi yang ada di kalangan masyarakat Dusun Klayu dapat berfungsi  sebagai wahana pendidikan budaya yang ditumbuh-kembangkan oleh  masyarakat yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 2009 “Gotong-royong” (Makalah dalam Diskusi Pembuatan Proposal Gotong-royong)
Galba, Sindu. 2009 Modal Sosial: Tradisi Gotong-royong pada Masyarakat  Samin di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan  Penerbitan “Prapanca” Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1985 Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.Jakarta: Gramedia.
Laksono, PM. 2009 Spektrum Budaya (Kita). Yogyakarta: Pusat Studi Asia-Pasifik UGM dan Ford Foundation.
Suparlan, Parsudi. 1995.  Orang Sakai di Propinsi Riau. Pekanbaru: Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Riau.
_____________________________ 
1) Pada saat tulisan ini dibuat, tahlilan dan pengajian bertempat di rumah salah seorang warga karena mushola sedang direhab.
2) Untuk keperluan minum dan makanan ringan, paguyuban membantu tuan rumah sejumlah uang (Rp.50.000,00)
Sindu Galba adalah Peneliti Madya pada Balai Pelestarian Sejarah dan  Nilai Tradisional Yogyakarta, Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan  Film (NBSF), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
